Konflik Aceh di selesaikan melalui perundingan (perjanjian Helsinki). Konflik di Papua juga perlu mendapat perhatiaan yang serius. Model penyelesaiaan apa yang akan di pakai pemerintah IndonesiaSemua pejabat pemerintahaan, termasuk seorang Gubernur adalah mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bagaimana mau menyampaikan aksi protes jika UU Otsus telah gagal?”
Ini ungkapan seorang sahabat yang berasal dari Aceh ketika saya tanya mengenai implementasi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh dan tanggapan pemerintah daerah setempat. Ia tampaknya kesal dengan implementasi Otsus Aceh, namun tak bisa berbuat banyak.
UU Otsus Aceh
Ia juga mengatakan bahwa implementasi UU Otsus Aceh hingga saat ini sangat buruk. Banyak kesepakataan yang di langgar oleh pemerintah Indonesia. Bahkan menurutnya lagi, dana Otsus yang jumlahnya sekian banyak lebih di pakai untuk pembiayaan pejabat pemerintahaan, bukan masyarakat lokal.
Awalnya, mereka berharap perjanjian Helsinki yang di buat tidak hanya menguntungkan pihak anggota GAM saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat bisa keluar dari ketertinggalan. Jika manfaatnya hanya di rasakan oleh eks GAM, apalah arti UU Otsus bagi masyarakat Aceh.
Otsus untuk Aceh sejatinya di berikan untuk mengatasi berbagai persoalaan di Aceh, termasuk meredam isu kemerdekaan Aceh yang muncul dari waktu ke waktu. Selain Aceh, Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia dengan di berikannya UU Otsus.
Walau banyak orang mengatakan UU Otsus Aceh gagal, toh, permasalahaan ini tidak pernah di soroti. Perhatian media massa, baik dalam negeri maupun luar negeri lebih tertuju bagiamana membenah diri setelah Aceh terkena tsuname dan berlangsungnya kesepakataan Helsinki tersebut. Sekarang Aceh benar-benar aman, tidak ada letupan-letupan konflik yang menuju disintergrasi yang perlu di ributkan
Otsus Papua
Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia. Tapi masih banyak mayarakat Papua bingung, dimana kekhususan itu. Karena kita bisa lihat sendiri, masih banyak kebijakaan dan keputusan yang di laksanakan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Tanggal 28 Juli kemarin, masyarakat Papua dengan tegas mengembalikan UU Otsus, dan hanya satu tuntutan mereka, yakni; referendum segera bagi rakyat Papua. Memang tuntutan yang cukup aneh menurut pemerintah Indonesia, dimana terlalu dini jika meminta referendum.
Masyarakat Papua telah sepakat, dimana menyatakan UU Otsus Papua telah gagal total. Sudah hampir tiga kali massa rakyat Papua mendatangi kantor DPR Papua untuk mengembalikan UU Otsus. Ini sudah parah. Pemerintah harus berbenah diri sebelum dampaknya meluas.
Desakan Kongres Amerika dan pemerintah Vanuatu juga makin nampak setelah mengetahui UU Otsus gagal di Papua. Dunia internasional sudah tidak percaya kepada keseriusaan pemerintah Indonesia.
Referendum
Pemerintah Indonesia harus jeli memerhatikan tuntutan rakyat Papua, referendum bukan berarti mereka meminta merdeka. Karena toh, dalam kesempatan itu akan ada pilihaan. Memilih merdeka (pisah dengan Indonesia) atau memilih tetap ikut negara Indonesia.
Sudah pasti PBB akan di libatkan dalam prosesi ini. Mengulang peristiwa yang pernah terjadi Timor Leste. Memilih merdeka atau ikut dengan Negara Indonesia adalah hak setiap orang, khususnya masyarakat asli Papua sendiri.
Referendum juga merupakaan solusi yang diambil jika pemerintah Indonesia tidak cakap atau mampu dalam mengatasi persoalaan di Papua. Dalam beberapa waktu, PBB sudah pasti akan turun untuk mengadakan pilihaan referendum. Mekanisme internasional mengaturnya dengan sangat jelas, khusus bagi daerah-daerah konflik di dunia.
Pada tanggal 02 September kemarin, aksi masa rakyat Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga menyatakan bahwa UU Otsus Papua telah gagal total. Mereka juga menolak tegas dialog Jakarta-Papua. Dan ujung-ujungnya meminta mengadakan referendum bagi rakyat Papua.
Nah, sekarang niat baik pemerintah Indonesia saja yang sedang di nantikan. Apakah bersedia menggelar referendum bagi rakyat Papua dengan melibatkan PBB, atau justru menyelesaikan masalah di Papua dengan model penyelesaiaan yang lain.
Perundingan
Jika tidak memilih referendum, pilihaan berikutnya adalah apakah menggelar dialog atau perundingan. Kita perlu memahami, bahwa dialog dan perundingan sangat berbeda. Berbeda dari tujuaan, maksud serta niatnya.
Konflik di Aceh di selesaikan dengan perundingan, bukan berarti permasalahaan Papua juga harus di rundingkan. Konflik Aceh berbeda dengan konflik di Papua. Latar belakang tuntutan untuk menggelar referendum juga sangat berbeda dengan Aceh.
Rakyat Papua minta referendum bukan karena alasan ketidakadilaan, kesejahteraan, dan lain-lain, melainkan karena memang rakyat Papua merasa sudah pernah merdeka sejak tahun 1963 silam. Sejak saat itu Papua Raad memfasilitasi kemerdekaan untuk rakyat Papua.
JIka mengaitkan dengan konteks perundingan Aceh, tentu tak relevan untuk Papua. Jika berbicara berunding, berarti akan ada win-win solution. Jika merujuk pada keinginan rakyat Papua, win-win solution tentu tidak efektif karena rakyat Papua saat ini menjadi pihak yang korban, bukan pihak yang mengorbankan.
Menyelesaikaan masalah Papua dengan perundingan tentu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Sebab tidak ada yang perlu di rundingkan. Jika berunding, berarti untung dan rugi dari perundingan juga akan di pikirkan. Dan sudah pasti sukar untuk terwujud, dalam kesempatan tersebut konflik Papua akan terus meluas.
Menggelar Dialog
Yang rakyat Papua butuh saat ini, adalah pemerintah Indonesia membuka diri, termasuk menggelar dialog internasional yang bersifat memberikan pilihaan bagi rakyat Papua. Entah mereka memilih ikut Negara Indonesia atau memilih menentukan nasib sendiri adalah hak setiap orang.
Dan yang paling penting juga bagaimana tindakan atau niat baik pemerintah Indonesia untuk memberdayakan rakyat Papua. Implementasi UU Otsus perlu di perhatikan secara serius. Jakarta dan SBY harus berkomitmen terhadap itikad baiknya untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Minimal pemerintah Indonesia mengakui rakyat Papua sebagai warga Negara Indonesia yang sah, dan bersikap adil terhadap mereka. Mungkin ini akan sedikit menyelematkan wajah Indonesia di mata Negara asing. Kita masih menantikan, apa tindakan dan tekad pemerintahaan SBY-Beodiono. Pilihaan, menggelar dialog atau biarkan masalah Papua tetap terkatung-katung.”okto P”
Ini ungkapan seorang sahabat yang berasal dari Aceh ketika saya tanya mengenai implementasi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh dan tanggapan pemerintah daerah setempat. Ia tampaknya kesal dengan implementasi Otsus Aceh, namun tak bisa berbuat banyak.
UU Otsus Aceh
Ia juga mengatakan bahwa implementasi UU Otsus Aceh hingga saat ini sangat buruk. Banyak kesepakataan yang di langgar oleh pemerintah Indonesia. Bahkan menurutnya lagi, dana Otsus yang jumlahnya sekian banyak lebih di pakai untuk pembiayaan pejabat pemerintahaan, bukan masyarakat lokal.
Awalnya, mereka berharap perjanjian Helsinki yang di buat tidak hanya menguntungkan pihak anggota GAM saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat bisa keluar dari ketertinggalan. Jika manfaatnya hanya di rasakan oleh eks GAM, apalah arti UU Otsus bagi masyarakat Aceh.
Otsus untuk Aceh sejatinya di berikan untuk mengatasi berbagai persoalaan di Aceh, termasuk meredam isu kemerdekaan Aceh yang muncul dari waktu ke waktu. Selain Aceh, Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia dengan di berikannya UU Otsus.
Walau banyak orang mengatakan UU Otsus Aceh gagal, toh, permasalahaan ini tidak pernah di soroti. Perhatian media massa, baik dalam negeri maupun luar negeri lebih tertuju bagiamana membenah diri setelah Aceh terkena tsuname dan berlangsungnya kesepakataan Helsinki tersebut. Sekarang Aceh benar-benar aman, tidak ada letupan-letupan konflik yang menuju disintergrasi yang perlu di ributkan
Otsus Papua
Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia. Tapi masih banyak mayarakat Papua bingung, dimana kekhususan itu. Karena kita bisa lihat sendiri, masih banyak kebijakaan dan keputusan yang di laksanakan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Tanggal 28 Juli kemarin, masyarakat Papua dengan tegas mengembalikan UU Otsus, dan hanya satu tuntutan mereka, yakni; referendum segera bagi rakyat Papua. Memang tuntutan yang cukup aneh menurut pemerintah Indonesia, dimana terlalu dini jika meminta referendum.
Masyarakat Papua telah sepakat, dimana menyatakan UU Otsus Papua telah gagal total. Sudah hampir tiga kali massa rakyat Papua mendatangi kantor DPR Papua untuk mengembalikan UU Otsus. Ini sudah parah. Pemerintah harus berbenah diri sebelum dampaknya meluas.
Desakan Kongres Amerika dan pemerintah Vanuatu juga makin nampak setelah mengetahui UU Otsus gagal di Papua. Dunia internasional sudah tidak percaya kepada keseriusaan pemerintah Indonesia.
Referendum
Pemerintah Indonesia harus jeli memerhatikan tuntutan rakyat Papua, referendum bukan berarti mereka meminta merdeka. Karena toh, dalam kesempatan itu akan ada pilihaan. Memilih merdeka (pisah dengan Indonesia) atau memilih tetap ikut negara Indonesia.
Sudah pasti PBB akan di libatkan dalam prosesi ini. Mengulang peristiwa yang pernah terjadi Timor Leste. Memilih merdeka atau ikut dengan Negara Indonesia adalah hak setiap orang, khususnya masyarakat asli Papua sendiri.
Referendum juga merupakaan solusi yang diambil jika pemerintah Indonesia tidak cakap atau mampu dalam mengatasi persoalaan di Papua. Dalam beberapa waktu, PBB sudah pasti akan turun untuk mengadakan pilihaan referendum. Mekanisme internasional mengaturnya dengan sangat jelas, khusus bagi daerah-daerah konflik di dunia.
Pada tanggal 02 September kemarin, aksi masa rakyat Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga menyatakan bahwa UU Otsus Papua telah gagal total. Mereka juga menolak tegas dialog Jakarta-Papua. Dan ujung-ujungnya meminta mengadakan referendum bagi rakyat Papua.
Nah, sekarang niat baik pemerintah Indonesia saja yang sedang di nantikan. Apakah bersedia menggelar referendum bagi rakyat Papua dengan melibatkan PBB, atau justru menyelesaikan masalah di Papua dengan model penyelesaiaan yang lain.
Perundingan
Jika tidak memilih referendum, pilihaan berikutnya adalah apakah menggelar dialog atau perundingan. Kita perlu memahami, bahwa dialog dan perundingan sangat berbeda. Berbeda dari tujuaan, maksud serta niatnya.
Konflik di Aceh di selesaikan dengan perundingan, bukan berarti permasalahaan Papua juga harus di rundingkan. Konflik Aceh berbeda dengan konflik di Papua. Latar belakang tuntutan untuk menggelar referendum juga sangat berbeda dengan Aceh.
Rakyat Papua minta referendum bukan karena alasan ketidakadilaan, kesejahteraan, dan lain-lain, melainkan karena memang rakyat Papua merasa sudah pernah merdeka sejak tahun 1963 silam. Sejak saat itu Papua Raad memfasilitasi kemerdekaan untuk rakyat Papua.
JIka mengaitkan dengan konteks perundingan Aceh, tentu tak relevan untuk Papua. Jika berbicara berunding, berarti akan ada win-win solution. Jika merujuk pada keinginan rakyat Papua, win-win solution tentu tidak efektif karena rakyat Papua saat ini menjadi pihak yang korban, bukan pihak yang mengorbankan.
Menyelesaikaan masalah Papua dengan perundingan tentu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Sebab tidak ada yang perlu di rundingkan. Jika berunding, berarti untung dan rugi dari perundingan juga akan di pikirkan. Dan sudah pasti sukar untuk terwujud, dalam kesempatan tersebut konflik Papua akan terus meluas.
Menggelar Dialog
Yang rakyat Papua butuh saat ini, adalah pemerintah Indonesia membuka diri, termasuk menggelar dialog internasional yang bersifat memberikan pilihaan bagi rakyat Papua. Entah mereka memilih ikut Negara Indonesia atau memilih menentukan nasib sendiri adalah hak setiap orang.
Dan yang paling penting juga bagaimana tindakan atau niat baik pemerintah Indonesia untuk memberdayakan rakyat Papua. Implementasi UU Otsus perlu di perhatikan secara serius. Jakarta dan SBY harus berkomitmen terhadap itikad baiknya untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Minimal pemerintah Indonesia mengakui rakyat Papua sebagai warga Negara Indonesia yang sah, dan bersikap adil terhadap mereka. Mungkin ini akan sedikit menyelematkan wajah Indonesia di mata Negara asing. Kita masih menantikan, apa tindakan dan tekad pemerintahaan SBY-Beodiono. Pilihaan, menggelar dialog atau biarkan masalah Papua tetap terkatung-katung.”okto P”
0 comments:
Post a Comment